KRITIK TERHADAP LUKISAN “GO TO HELL CROCODILE” (dengan Pendekatan Holistik)
Oleh: Muhamad Ludfi
Sanjani
Djoko Pekik, 2014, Go to Hell Crocodile
275 x
600 cm
Cat
minyak di atas kanvas
Lukisan
“Go to Hell Crocodile (2014)” karya
Djoko Pekik ini digarap pada bulan Mei tahun 2014. Lukisan berukuran 275 x
600 cm yang digarap menggunakan cat minyak pada kanvas ini, menempilkan sosok seekor
buaya dengan panjang sejauh mata memandang melingkari ceruk galian tambang di
sekelilingnya, kerumunan figur bersenjatakan bambu runcing siap dihujamkan ke
tubuh buaya itu sebagai bentuk ungkapan Djoko Pekik. Lukisan dengan cat minyak
ini juga menampilkan goresan-goresan
yang teratur dan halus, untuk membentuk gestur. Pada subjek matter seekor buaya melingkari lingkaran spiral seperti
tambang tampak menyedot sesuatu dari lingkaran spiral tersebut. Di samping kiri
bawah subjek matter terdapat orang-orang yang membawa senjata bambu runcing,
pada bagian kanan atas nampak seperti “biyak” atau rumah adat papua, serta di
pojok kiri atas nampak orang-orang memegang ekor buaya.
Karya
lukis ini digarap menggunakan cat minyak di atas kanvas dengan sapuan kuas yang
teratur dan halus. Djoko pekik selalu menghadirkan sosok manusia dan hewan
dengan penggarapan yang rapi dan halus dalam setiap karyanya yang dituangkan ke
atas kanvas. Hal tersebut dapat dimaklumi, karena latarbelakangnya memang ia
dikenal sebagai pelukis aliran realis dan naturalis.
Dalam
lukisan “Go to Hell Crocodile” ini Djoko Pekik menghadirkan sosok buaya sebagai
subject matternya. Tidak biasanya
Djoko Pekik menggunakan judul berbahasa Inggris, menurutnya, judul “Go to Hell
Crocodile” disitir dari ucapan yang sangat nasionalis dari Presiden Soekarno,
“Go to hell with your aid”. Karya ini lahir dari buah pemikirannya yang tidak
terima bangsanya dijajah oleh kapitalis neokolonialisme. Menurut Djoko Pekik,
setelah kemerdekaan yang begitu susah diperjuangkan, pada tahun 1965 atau
permulaan dari rezim Orde Baru presiden Soeharto, Indonesia kembali dijajah
oleh kapitalis neokolonialisme. Bukan dijajah secara terang-terangan seperti di
zaman Soekarno, tetapi dijajah secara tidak langsung. Melalui efek dahsyat
globalisasi, teknologi, budaya, ilmu pengetahuan modern, hal-hal tersebut
menjajah kita tanpa kita sadari. Djoko Pekik yang peka dengan fenomena tersebut
secara khusus menggambarkan Indonesia yang diambil kekayaan alamnya, yaitu bumi
yang dikeruk habis-habisan dan diambil isi di dalamnya, usaha ini biasa kita
sebut sebagai tambang.
Berkaitan
dengan latar belakang penciptaan karya go
to hell crocodile, memang tepat Djoko Pekik menuangkan gagasan kapitalis
neokolonialisme dalam kanvasnya, karena memang lukisan tersebut dipamerkan
dalam gelaran pasar seni Art Jog 2014
di Taman Budaya Yogyakarta yang diadakan pada 7-22 Juni, dengan mengangkat tema “Legacy of Power”. Mengingat tahun 2014 adalah tahunya politik atau
pesta demokrasi, pergantian kepemimpinan di Indonesia. Menurutnya “Buaya itu”
merupakan salah satu pertunjukan utama dalam Art Jog 2014, melambangkan kapitalis. Ketika
ditanyai Mahkamah mengenai makna
lukisannya (dalam tempo.co). Memang benar jika dilihat dari latar belakang
Djoko Pekik yang pernah menempuh pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia
(ASRI), dan di Sanggar Bumi Tarung serta keikutsertaannya dalam LEKRA, juga
pernah menjadi tahanan politik akibat geger politik pada tahun 1965. Djoko
Pekik melihat rakyat Indonesia dijajah oleh kapitalis neokolonialisme, sejak
tahun 1965 hingga sekarang Indonesia sudah tercabik alamnya. Dikorelasikan
dengan karya-karyanya yang lain, rupanya Djoko Pekik sering mengungkapkan gagasan
lukisannya dari ketidakterimaannya terhadap fenomena lingkungan kehidupan yang
dijalaninya.
Jika
diperhatikan lukisan “Go to Hell Crocodile” seperti halnya lukisan-lukisan
Djoko Pekik yang lain banyak menghadirkan sosok manusia dan hewan. Dalam
lukisan ini ia menghadirkan sosok buaya besar. Buaya merupakan hewan yang besar
dan dapat bertahan hidup di dua alam, buaya dapat memangsa hewan lain yang
seukuran atau lebih besar darinya. Dalam lukisan ini seperti menyindir kelakuan
perusahaan tambang asing yang menguras perut bumi Indonesia di Papua dan Nusa
Tenggara. Terdapat usaha untuk melakukan sindiran pada perusahaan tambang asing
yang diibaratkan sebagai seekor buaya yang rakus pada kanvas. Proses seperti
inilah yang menggerakkan untuk memperhatikan keadaan di sekelilingnya dan
menangkap tingkah laku orang dan binatang serta fenomena di sekelilingnya.
Pengamatan tersebut menimbulkan imajinasi disertai gejolak emosi dalam dirinya,
sehingga lahirlah karya-karyanya melukiskan orang dan binatang yang begitu
naturalis.
Dalam
lukisan “Go to Hell Crocodile” warna-warna yang digunakan cenderung warna yang
natural seperti warna cokelat/tanah, karena memang Djoko Pekik seorang
naturalis. Komposisi dalam lukisan ini seimbang antara sisi kiri (sekumpulan
orang) dan sisi kanan (buaya besar) dibangun sangat menarik bagi mata pengamat.
Warna-warna yang dipilih tidak menunjukan warna yang bersifat ekspresif, selain
itu warna-warna yang dianggap dapat memenuhi persepsi tentang “keadaan” yang sebenarnya
di alam Indonesia ini. Komposisi unsur-unsur visualnya sangat diperhatikan
dengan baik.
Jika
diamati lebih seksama, kesan yang ditangkap ketika menghadapi lukisan ini
seolah-olah ada seekor buaya yang akan masuk ke lubang yang berbentuk spiral,
karena takut oleh sekumpulan orang yang membawa senjata. Selain itu lidah buaya
berwarna merah yang menjulur panjang ke lubang tidak menjukkan bahwa itu adalah
lidah buaya, tetapi lebih menunjukkan seperti air berwarna merah yang mengalir
yang menuju lubang spiral. Pada subjek sekumpulan orang yang membawa senjata
terlihat monoton, tidak ada kesan dinamis dan kurang ekspresi kemarahan pada
tiap wajah sekumpulan orang.
Menurut
kurator lukisan Djoko Pekik, Ki Demang Ismoyo (dalam tempo.co), kita tentu
masih ingat dengan polemik “Cicak VS Buaya” yang sempat menggegerkan media
massa saat beberapa pihak berusaha menggembosi peran KPK dalam memberantas
korupsi. Ya, Cicak memang berafiliasi pada KPK, dan buaya, sebagaimana yang
tampil dalam karya Djoko Pekik, berafiliasi pada koruptor. Selain itu, karya
ini juga mengingatkan kita pada perusahaan-perusahaan asing yang dengan tamak
mengeruk kekayaan tambang di pelosok negeri. Kita tentu prihatin ketika
menyadari bahsa sebagian besar kekayaan sumber daya alam Indonesia dibawa lari
ke luar negeri, sementara pemerintah berdalih atas nama kesepakatan-kesepakatan
kontrak. Dari sini tentu kita sudah dapat menebak apa yang ingin disampaikan
oleh pelukis berjenggot tersebut; Indonesia memang tengah dicabik-cabik oleh
para koruptor, dan oleh karya Djoko Pekik kita diingatkan untuk terus
melawannya.
Terlepas
dari kekurangannya, dalam menghadapi lukisan “Go to Hell Crocodile” tentu saja
tidak bisa dimulai dengan pertanyaan “apa maknanya?”, tetapi perlu menghadapinya
dengan sikap terbuka dan pandangan yang sensitif. Hal terpenting untuk
diperhatikan adalah, bahwa dalam soal virtualitas juga terkaandung makna
sebagai pengalaman yang bersifat khas. Dalam proses penanaman nilai secara
personal inilah, lukisan “Go to Hell Crocodile” menjalankan misinya untuk
berpendapat. Lukisan tersebut sarat akan makna dan pesan yang ingin
disampaikan. Tujuannya adalah untuk membangkitkan pemahaman manusia (penikmat
karya) agar maumengerti dan memahami bahwa tiap bangsa seharusnya dapat
menikmati kekayaan alamnya tanpa ada campur tangan pihak asing yang hanya
merusak dan menguras kekayaan alam bangsa Indonesia. Lukisan ini menunjukan
gambaran tentang sikap, cara pandang, dan penilaian, Djoko Pekik terhadap makna
kapitalis neokolonialisme yang tengah berlangsung saat ini. Djoko Pekik sadar
bahwa lukisan bukan satu-satunya alat yang mampu mengatasi hal tersebut, namun
ia hanya berusaha sebagai seorang seniman yang tidak akan tinggal diam melihat
hal seperti itu. Dia hanya menjalankan perannya sebagai seorang seniman yaitu
mengkritisi melalui karyanya.
Keunggulan
“Go to Hell Crocodile” sebagai karya yang bertema sosial-politik merupakan
karya yang berkualitas, karena selain unsur visualnya digarap serius dan
dikomposisikan dengan baik, lukisan ini juga sarat akan pesan sosial. Lukisan
ini tidak mimesis mutlak yang tanpa makna, karena dalam lukisan ini terdapat
emosional dan personality Djoko Pekik untuk menyampaikan gagasan. Sehingga
lukisan ini dapat dikatakan memiliki nilai, lebih tinggi dari alam, seperti
tentang estetika Aristoteles. Lukisan Djoko Pekik menunjukan intensitas
penggarapan yang fokus terhadap bentuk buaya.
PROFIL
SENIMAN
Berikut ini adalah sajian mengenai
biodata dan pengalaman seniman, yaitu sebagai berikut:
Nama :
Djoko Pekik
Tempat, Tanggal Lahir :
Grobogan, Purwodadi 2 Desember 1938
Alamat : Sembungan, Tamantirto, Kasian Bantul, Yogyakarta
Pendidikan : Akademi Seni
Rupa Indonesia (ASRI) 1958, Sanggar Bumi
Tarung
Kategori : Seni Rupa (pelukis gaya Realisme)
Pengalaman
Pameran
-
Pameran tunggal: 1990 – “Rona
Kehidupan” di Edwin’s Gallery,Jakarta / 1993
-
Pameran Tunggal di Taman Budaya
Surakarta / 1995
-
Pameran Tunggal di Ganesha Gallery,
Four Seasons Resort, Bali / 1998
-
Pameran “Indonesia 1998 : Berburu
Celeng”, Bentara Budaya, Yogyakarta / 1999
-
Pameran “Indonesia 1998 : Berburu
Celeng”, Galeri Nasional, Jakarta dan Bentara Budaya, Yogyakarta. Pameran
bersama: 2001
-
“Melik Nggendong Lali”, Bentara
Budaya,Yogjakarta / 2002
-
“Urip Mampir Ngombe”, Bentara
Budaya, Yogyakarta / 2003 – “ Borobudur Agitatif”, Langgeng Galeri,
Magelang
-
Art Jog “Legacy of Power”, Taman Budaya, Yogyakarta / 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar