Senin, 29 Desember 2014



KRITIK TERHADAP LUKISAN “GO TO HELL CROCODILE” (dengan Pendekatan Holistik)
Oleh: Muhamad Ludfi Sanjani

Djoko Pekik, 2014, Go to Hell Crocodile
275 x 600 cm
Cat minyak di atas kanvas

            Lukisan “Go to Hell Crocodile (2014)” karya Djoko Pekik ini digarap pada bulan Mei tahun 2014. Lukisan berukuran 275 x 600 cm yang digarap menggunakan cat minyak pada kanvas ini, menempilkan sosok seekor buaya dengan panjang sejauh mata memandang melingkari ceruk galian tambang di sekelilingnya, kerumunan figur bersenjatakan bambu runcing siap dihujamkan ke tubuh buaya itu sebagai bentuk ungkapan Djoko Pekik. Lukisan dengan cat minyak ini juga menampilkan goresan-goresan yang teratur dan halus, untuk membentuk gestur. Pada subjek matter seekor buaya melingkari lingkaran spiral seperti tambang tampak menyedot sesuatu dari lingkaran spiral tersebut. Di samping kiri bawah subjek matter terdapat orang-orang yang membawa senjata bambu runcing, pada bagian kanan atas nampak seperti “biyak” atau rumah adat papua, serta di pojok kiri atas nampak orang-orang memegang ekor buaya.
            Karya lukis ini digarap menggunakan cat minyak di atas kanvas dengan sapuan kuas yang teratur dan halus. Djoko pekik selalu menghadirkan sosok manusia dan hewan dengan penggarapan yang rapi dan halus dalam setiap karyanya yang dituangkan ke atas kanvas. Hal tersebut dapat dimaklumi, karena latarbelakangnya memang ia dikenal sebagai pelukis aliran realis dan naturalis.
            Dalam lukisan “Go to Hell Crocodile” ini Djoko Pekik menghadirkan sosok buaya sebagai subject matternya. Tidak biasanya Djoko Pekik menggunakan judul berbahasa Inggris, menurutnya, judul “Go to Hell Crocodile” disitir dari ucapan yang sangat nasionalis dari Presiden Soekarno, “Go to hell with your aid”. Karya ini lahir dari buah pemikirannya yang tidak terima bangsanya dijajah oleh kapitalis neokolonialisme. Menurut Djoko Pekik, setelah kemerdekaan yang begitu susah diperjuangkan, pada tahun 1965 atau permulaan dari rezim Orde Baru presiden Soeharto, Indonesia kembali dijajah oleh kapitalis neokolonialisme. Bukan dijajah secara terang-terangan seperti di zaman Soekarno, tetapi dijajah secara tidak langsung. Melalui efek dahsyat globalisasi, teknologi, budaya, ilmu pengetahuan modern, hal-hal tersebut menjajah kita tanpa kita sadari. Djoko Pekik yang peka dengan fenomena tersebut secara khusus menggambarkan Indonesia yang diambil kekayaan alamnya, yaitu bumi yang dikeruk habis-habisan dan diambil isi di dalamnya, usaha ini biasa kita sebut sebagai tambang.
            Berkaitan dengan latar belakang penciptaan karya go to hell crocodile, memang tepat Djoko Pekik menuangkan gagasan kapitalis neokolonialisme dalam kanvasnya, karena memang lukisan tersebut dipamerkan dalam gelaran pasar seni Art Jog 2014 di Taman Budaya Yogyakarta yang diadakan pada 7-22 Juni, dengan mengangkat tema “Legacy of Power”. Mengingat tahun 2014 adalah tahunya politik atau pesta demokrasi, pergantian kepemimpinan di Indonesia. Menurutnya “Buaya itu” merupakan salah satu pertunjukan utama dalam Art Jog 2014, melambangkan kapitalis. Ketika ditanyai Mahkamah mengenai makna lukisannya (dalam tempo.co). Memang benar jika dilihat dari latar belakang Djoko Pekik yang pernah menempuh pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), dan di Sanggar Bumi Tarung serta keikutsertaannya dalam LEKRA, juga pernah menjadi tahanan politik akibat geger politik pada tahun 1965. Djoko Pekik melihat rakyat Indonesia dijajah oleh kapitalis neokolonialisme, sejak tahun 1965 hingga sekarang Indonesia sudah tercabik alamnya. Dikorelasikan dengan karya-karyanya yang lain, rupanya Djoko Pekik sering mengungkapkan gagasan lukisannya dari ketidakterimaannya terhadap fenomena lingkungan kehidupan yang dijalaninya.
            Jika diperhatikan lukisan “Go to Hell Crocodile” seperti halnya lukisan-lukisan Djoko Pekik yang lain banyak menghadirkan sosok manusia dan hewan. Dalam lukisan ini ia menghadirkan sosok buaya besar. Buaya merupakan hewan yang besar dan dapat bertahan hidup di dua alam, buaya dapat memangsa hewan lain yang seukuran atau lebih besar darinya. Dalam lukisan ini seperti menyindir kelakuan perusahaan tambang asing yang menguras perut bumi Indonesia di Papua dan Nusa Tenggara. Terdapat usaha untuk melakukan sindiran pada perusahaan tambang asing yang diibaratkan sebagai seekor buaya yang rakus pada kanvas. Proses seperti inilah yang menggerakkan untuk memperhatikan keadaan di sekelilingnya dan menangkap tingkah laku orang dan binatang serta fenomena di sekelilingnya. Pengamatan tersebut menimbulkan imajinasi disertai gejolak emosi dalam dirinya, sehingga lahirlah karya-karyanya melukiskan orang dan binatang yang begitu naturalis.
            Dalam lukisan “Go to Hell Crocodile” warna-warna yang digunakan cenderung warna yang natural seperti warna cokelat/tanah, karena memang Djoko Pekik seorang naturalis. Komposisi dalam lukisan ini seimbang antara sisi kiri (sekumpulan orang) dan sisi kanan (buaya besar) dibangun sangat menarik bagi mata pengamat. Warna-warna yang dipilih tidak menunjukan warna yang bersifat ekspresif, selain itu warna-warna yang dianggap dapat memenuhi persepsi tentang “keadaan” yang sebenarnya di alam Indonesia ini. Komposisi unsur-unsur visualnya sangat diperhatikan dengan baik.
            Jika diamati lebih seksama, kesan yang ditangkap ketika menghadapi lukisan ini seolah-olah ada seekor buaya yang akan masuk ke lubang yang berbentuk spiral, karena takut oleh sekumpulan orang yang membawa senjata. Selain itu lidah buaya berwarna merah yang menjulur panjang ke lubang tidak menjukkan bahwa itu adalah lidah buaya, tetapi lebih menunjukkan seperti air berwarna merah yang mengalir yang menuju lubang spiral. Pada subjek sekumpulan orang yang membawa senjata terlihat monoton, tidak ada kesan dinamis dan kurang ekspresi kemarahan pada tiap wajah sekumpulan orang.
            Menurut kurator lukisan Djoko Pekik, Ki Demang Ismoyo (dalam tempo.co), kita tentu masih ingat dengan polemik “Cicak VS Buaya” yang sempat menggegerkan media massa saat beberapa pihak berusaha menggembosi peran KPK dalam memberantas korupsi. Ya, Cicak memang berafiliasi pada KPK, dan buaya, sebagaimana yang tampil dalam karya Djoko Pekik, berafiliasi pada koruptor. Selain itu, karya ini juga mengingatkan kita pada perusahaan-perusahaan asing yang dengan tamak mengeruk kekayaan tambang di pelosok negeri. Kita tentu prihatin ketika menyadari bahsa sebagian besar kekayaan sumber daya alam Indonesia dibawa lari ke luar negeri, sementara pemerintah berdalih atas nama kesepakatan-kesepakatan kontrak. Dari sini tentu kita sudah dapat menebak apa yang ingin disampaikan oleh pelukis berjenggot tersebut; Indonesia memang tengah dicabik-cabik oleh para koruptor, dan oleh karya Djoko Pekik kita diingatkan untuk terus melawannya.
            Terlepas dari kekurangannya, dalam menghadapi lukisan “Go to Hell Crocodile” tentu saja tidak bisa dimulai dengan pertanyaan “apa maknanya?”, tetapi perlu menghadapinya dengan sikap terbuka dan pandangan yang sensitif. Hal terpenting untuk diperhatikan adalah, bahwa dalam soal virtualitas juga terkaandung makna sebagai pengalaman yang bersifat khas. Dalam proses penanaman nilai secara personal inilah, lukisan “Go to Hell Crocodile” menjalankan misinya untuk berpendapat. Lukisan tersebut sarat akan makna dan pesan yang ingin disampaikan. Tujuannya adalah untuk membangkitkan pemahaman manusia (penikmat karya) agar maumengerti dan memahami bahwa tiap bangsa seharusnya dapat menikmati kekayaan alamnya tanpa ada campur tangan pihak asing yang hanya merusak dan menguras kekayaan alam bangsa Indonesia. Lukisan ini menunjukan gambaran tentang sikap, cara pandang, dan penilaian, Djoko Pekik terhadap makna kapitalis neokolonialisme yang tengah berlangsung saat ini. Djoko Pekik sadar bahwa lukisan bukan satu-satunya alat yang mampu mengatasi hal tersebut, namun ia hanya berusaha sebagai seorang seniman yang tidak akan tinggal diam melihat hal seperti itu. Dia hanya menjalankan perannya sebagai seorang seniman yaitu mengkritisi melalui karyanya.
            Keunggulan “Go to Hell Crocodile” sebagai karya yang bertema sosial-politik merupakan karya yang berkualitas, karena selain unsur visualnya digarap serius dan dikomposisikan dengan baik, lukisan ini juga sarat akan pesan sosial. Lukisan ini tidak mimesis mutlak yang tanpa makna, karena dalam lukisan ini terdapat emosional dan personality Djoko Pekik untuk menyampaikan gagasan. Sehingga lukisan ini dapat dikatakan memiliki nilai, lebih tinggi dari alam, seperti tentang estetika Aristoteles. Lukisan Djoko Pekik menunjukan intensitas penggarapan yang fokus terhadap bentuk buaya.




PROFIL SENIMAN
Berikut ini adalah sajian mengenai biodata dan pengalaman seniman, yaitu sebagai berikut:

sumber : www.kotajogja.com
Nama                                      : Djoko Pekik
Tempat, Tanggal Lahir            : Grobogan, Purwodadi 2 Desember 1938
Alamat                                     : Sembungan, Tamantirto, Kasian Bantul, Yogyakarta

Pendidikan                              : Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) 1958, Sanggar Bumi
                                                  Tarung
Kategori                                   : Seni Rupa (pelukis gaya Realisme)


Pengalaman Pameran
-       Pameran tunggal: 1990 – “Rona Kehidupan” di Edwin’s Gallery,Jakarta / 1993
-       Pameran Tunggal di Taman Budaya Surakarta / 1995
-       Pameran Tunggal di Ganesha Gallery, Four Seasons Resort, Bali / 1998
-       Pameran “Indonesia 1998 : Berburu Celeng”, Bentara Budaya, Yogyakarta / 1999
-       Pameran “Indonesia 1998 : Berburu Celeng”, Galeri Nasional, Jakarta dan Bentara Budaya, Yogyakarta. Pameran bersama: 2001
-       “Melik Nggendong Lali”, Bentara Budaya,Yogjakarta / 2002
-       “Urip Mampir Ngombe”, Bentara Budaya, Yogyakarta / 2003 – “ Borobudur Agitatif”, Langgeng Galeri, Magelang
-       Art Jog Legacy of Power”, Taman Budaya, Yogyakarta /  2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar